peristiwa
sejarah kontemporer dunia seperti Jerman Bersatu,
Perang Teluk, Konflik Yugoslavia dan terorisme
dunia bagi kehidupan sosial dan politik global
Apa yang dimaksud dengan
sejarah Jerman bersatu? Jerman bersatu merupakan peristiwa penyatuan antara
Jerman Timur dan Jerman Barat. Dahulu negara Jerman yang saat ini kita kenal
memang pernah terbagi menjadi dua bagian, hal ini akibat dari pengaruh
negara-negara lain seperti Uni Soviet dan Amerika Serikat yang membentuk blok
sendiri-sendiri. Untuk lebih jelasnya, simak pembahasannya dibawah ini.
Perpecahan Jerman
Sejak tahun 1945, Jerman
mulai dikuasai oleh 4 negara, mereka adalah Amerika Serikat, Uni Soviet,
Inggris, dan juga Perancis. Masing-masing negara ini memiliki daerah
pemerintahan sendiri di Jerman. Namun pada dasarnya mereka bertujuan sama yaitu
mengontrol Jerman secara berdampingan.
Selama beberapa waktu,
keempat negara ini memerintah sebagaimana mestinya. Mereka membangun industri,
perdagangan, dan banyak hal lain untuk membuat Jerman lebih baik. Akan tetapi
akhirnya setiap wilayah yang dikuasai 4 negara tersebut mengalami semacam
kesenjangan sosial. Ada wilayah-wilayah tertentu yang mengalami penurunan
perekonomian, sementara wilayah lain yang dikuasai negara yang berbeda ternyata
mengalami perekonomian baik.
Tak hanya masalah ekonomi.
perbedaan politik dan pemerintahan juga terjadi pada masa ini. Hal-hal tersebut
akhirnya menimbulkan perselisihan, terutama antar dua negara adidaya yang tak
lain adalah Amerika Serikat dan Uni Soviet. Tak ayal lagi, semakin lama kedua
negara ini semakin bersitegang dan akhirnya bermusuhan.
Amerika Serikat kemudian
merangkul Perancis dan Inggris yang saat itu sama-sama menguasai beberapa
wilayah di Jerman. Tahun 1948, ketiga negara besar ini bertemu dalam suatu
perundingan yang digelar di London, Inggris. Dalam perundingan ini, tiga negara
tersebut sepakat untuk bersatu/bersekutu dan membentuk Jerman Barat yang
terpisah dari wilayah kekuasaan Uni Soviet. Dikemudian hari, Amerika Serikat
dan sekutunya disebut sebagai blok barat yang menganut paham fasisme.
Uni Soviet tak tinggal
diam. Negara komunis ini kemudian membentuk Jerman Timur pada tanggal 7 Oktober
1949. Jerman yang dulunya merupakan satu wilayah utuh pada akhirnya terbagi
menjadi dua, yaitu Jerman Barat yang dikuasai blok Amerika Serikat dan Jerman
Timur di bawah kekuasaan Uni Soviet.
Pembangunan Tembok
Berlin
Puncak dari perselisihan
antara Jerman Timur dan Jerman Barat ini adalah pembangunan Tembok Berlin oleh
Uni Soviet. Kota Berlin ikut pecah dan terbagi dua seiring terbentuknya Jerman
Timur dan Jerman Barat.
Walau Jerman terbagi
menjadi dua wilayah kekuasaan, perbedaan kondisi masyarakat di berbagai bidang,
termasuk ekonomi dan politik, tetap tak bisa hilang. Hingga saat ini, Jerman
Barat kala itu dipercaya sebagai tempat yang lebih baik bila dibandingkan
dengan Jerman Timur. Hal ini berdasarkan fakta bahwa setelah Jerman Timur
terbentuk, ada banyak warganya yang berusaha melarikan diri ke Jerman Barat.
Melihat banyaknya rakyat
Jerman Timur yang berusaha pindah ke wilayah blok barat, Uni Soviet mulai resah
dan menganggapnya sebagai pemicu kemunduran perekonomian Jerman Timur. Uni
Soviet pun berusaha mencegah warganya yang ingin kabur, dan cara yang dipilih
adalah dengan membangun sebuah penghalang agar rakyatnya tak bisa lagi pergi
keluar dari Jerman Timur.
Tanggal 13 Agustus 1961 Uni
Soviet akhirnya membangun Tembok Berlin. Pembangunan dinding tinggi nan kokoh
ini menimbulkan dampak buruk di Jerman, khususnya bagi rakyat Jerman Timur yang
seolah-olah merasa terisolasi dari dunia luar. Karena itulah pembangunan Tembok
Berlin ini mendapat kecaman dari berbagai pihak, khususnya Amerika Serikat.
Kecaman ini berlanjut dengan aksi-aksi protes dan demonstrasi disekitar Tembok
Berlin.
Walau Tembok Berlin sudah
didirikan, bagaimanapun juga tetap ada sebagian masyarakat Jerman Timur yang
berusaha melarikan diri keluar dari negaranya. Ribuan warga Jerman Timur
akhirnya berhasil kabur ke Jerman Barat, namun jumlah warga yang gagal
melarikan diri juga tak sedikit. Saat itu Uni Soviet sudah memerintahkan para
penjaga Tembok Berlin untuk menembak siapapun yang berusaha menerobos Tembok
Berlin. Oleh karena itu, kebanyakan dari warga Jerman Timur yang gagal kabur ke
wilayah barat biasanya tewas ditembak oleh para penjaga tersebut.
Jerman Bersatu
Setelah sempat terbagi dua,
pada akhirnya Jerman Timur dan Jerman Barat kembali bersatu. Hal ini terjadi
setelah aksi protes semakin meluas, hampir seluruh negara mengecam tindakan Uni
Soviet, dan demonstrasi-demonstrasi hebat di Jerman Timur terus berkobar
sehingga membuat Uni Soviet merasa sedikit terdesak.
Pada tanggal 9 November
1989, Tembok Berlin pun resmi diruntuhkan. Akan tetapi saat itu dinding kokoh
tersebut belum benar-benar dihancurkan, namun pemerintah Uni Soviet mulai
membuka akses dan mengizinkan warganya untuk pergi ke Jerman Barat.
Tanggal 13 Januari 1990,
Tembok Berlin benar-benar dihancurkan. Hal ini pun menandai bersatunya Jerman
Timur dan Jerman Barat. Penyatuan sebagai negara Jerman inipun resmi dilakukan
pada tanggal 3 Oktober 1990.
B. KONFLIK DAN PERMASALAHAN ETNIS KONTEMPORER DI YUGOSLAVIA
Abstrak : Konflik
etnis di Yugoslavia pada tahun 1990an sampai 2001 disebabkan tingginya prasangka etnis ditambah
runtuhnya komunisme, vaccum of power setelah kematian Josep Broz Tito,
dan semangat nasionalisme etnis disetiap bangsa yang ada didalam wilayah
Yugoslavia. Konflik Yugoslavia yang terkenal adalah konflik Bosnia. Konflik ini
menewaskan korban dalam jumlah besar. Dampak konflik ini adalah banyaknya
korban jiwa, krisis ekonomi, dan disintegrasi Yugoslavia.
Kata Kunci : Konflik,
Etnis, Kontemporer, Yugoslavia.
Akar
konflik etnis yang berkepanjangan di Yugoslavia telah muncul pada tahun 1918
saat bubarnya kerajaan Austria-Hongaria dan bersatunya Serbia, Kroasia, dan
Slovenia, akan tetapi Kroasia ingin negara berbentuk federasi sedangkan Serbia
menginginkan sebuah negara kesatuan (Wikipedia, 2013). Hal ini menimbulkan
sebuah konflik yang nantinya meluas menjadi konflik antar etnis yang
mengakibatkan jatuhnya banyak korban. Selain itu juga memunculkan negara-negara
baru merdeka seperti Kroasia.
PEMBAHASAN
Awal
Perpecahan Negara Yugoslavia
Perpecahan (atau lebih tepat
dipecahkan) kembali terjadi pada tanggal 17 April 1941 (Perang Dunia II)
tentara pemberontak Yugoslavia menyerah dan berhasil ditaklukan oleh tentara
NAZI Jerman. Hitler membagi Yugoslavia kepada sekutu porosnya yaitu Italia,
Hongaria, Bulgaria dan penguasa boneka setempat. Yugoslavia saat itu terdiri
dari Serbia (dibawah pemerintahan Jerman), Makedonia (diduduki Bulgaria),
Montenegro (diduduki Italia), Negara Kroasia Merdeka, Slovenia (diduduki
Jerman, Italia, dan Hongaria), Baranja (diduduki Hongaria), Dalmatia (diduduki
Italia), dan Kosovo (diduduki Italia dan Albania) (Oktorino, 2014:5—7).
Berakhirnya Perang Dunia II
memunculkan negara federal sosialis di bawah kepemimpinan Tito, setelah
prestasinya dalam perang dunia kedua dia berhasil membubarkan monarki dan
mengangkat dirinya sebagai diktator Yugoslavia. Dia menindas sentimen kesukuan
dan keagamaan yang sifatnya memecah belah, dia memerintah dan mempersatukan
negerinya dengan tangan besi (Oktorino, 2014:27). Pada masa kepemimpinannya
inilah Yugoslavia bisa dikatakan berada pada masa puncaknya.
Pada tanggal 4 Mei 1980 Tito Sang
diktator meninggal sebagaimana yang dituliskan Meier (2005:1) dalam bukunya“On
4 May 1980, Josip Broz Tito, President of the Socialist Federated Republic of
Yugoslavia, died”. Kematian Tito membawa banyak dampak bagi Yugoslavia
diantaranya vacum of power (Kekosongan kekuasaan), hal ini
membuktikan bahwa stabilitas negara tergantung kepada sosok kharismatik dari
seorang Tito sehingga setelah kematiannya, konflik etnis yang telah berhasil
ditekan selama pemerintahannya kembali bergolak di Yugoslavia (Haryono,
2007:2). Konflik etnis itu menimbulkan
banyak korban dan kerugian-kerugian baik materiil maupun psikologis.
Pada dasarnya akar konflik
berkepanjangan di daerah Yugoslavia menurut Wardhani (2011:222) disebabkan
tingginya prasangka etnis, sebagai contoh konflik Bosnia disebabkan oleh
keberhasilan Slobodan Milosevic memancing prasangka negatif antara kaum Bosnia
dengan Kroasia dan memobilisasi tentara yang menghasilkan pembasmian etnis yang
tujuan akhirnya adalah menciptakan Serbia Raya.
Tingginya prasangka etnis ditambah
runtuhnya komunisme, vaccum of power, semangat nasionalisme disetiap
bangsa yang ada didalam wilayah Yugoslavia dan kepentingan asing menjadi latar
belakang yang sempurna bagi tragedi kemanusiaan berupa berbagai konflik etnis
dikawasan ini.
Munculnya
Akar Konflik Etnis Yugoslavia
Awal mula konflik etnis
berkepanjangan yang terjadi di Yugoslavia dimulai pada tahun 1918 ketika
bubarnya kerajaan Austria-Hongaria dan bersatunya kerajaan dari Serbia,
Kroasia, dan Slovenia setelah Perang Dunia I. Pada tahun 1929 kerajaan dari
Serbia, Kroasia, dan Slovenia tersebut berubah nama menjadi Yugoslavia.
Yugoslavia sendiri memiliki arti, yaitu ‘orang-orang Slavia Selatan. Yugoslavia
menjadi sebuah negara kerajaan yang dipimpin oleh Raja Alexander I (Susilo,
2009:110). Setelah kerajaan-kerajaan tersebut bergabung dan membentuk negara
kerajaan Yugoslavia, nama Yugoslavia semakin memiliki eksistensi di dunia
Internasional.
Namun, setelah bergabungnya Serbia,
Kroasia, dan Slovenia bersatu timbul permasalahan yang dimulai dengan Serbia
yang menginginkan sebuah negara kesatuan, sedangkan Kroasia yang menginginkan
negara yang berbentuk federasi. Pada tahun 1928, Kroasia mencoba melepaskan
diri dari Yugoslavia setelah seorang anggota parlemen dari Kroasia dibunuh.
Raja Alexander, sejak tahun 1921, bereaksi keras dengan membubarkan parlemen
dan mencanangkan diktatorialisme (Wikipedia, 2015). Perbedaan keinginan dari
dalam negara itu, memicu akar konflik dan perepecahan yang nantinya menimbulkan
konflik yang berlatarbelakang etnis.
Konflik etnis yang terjadi di
Yugoslavia merupakan konflik dan kekerasan yang terjadi selama 1990-2001, namun
bibit konflik etnis ini sudah muncul pada Perang Dunia I tahun 1918. Konflik
etnis ini melibatkan warga Yugoslavia yang kebanyakan antara bangsa Serbia
melawan Kroasia, Bosnia dan Albania. Sering disebut perang paling mematikan di
Eropa setelah terjadinya Perang Dunia. Perang ini dicirikan sebagai kejahatan
perang dan pembersihan etnis secara besar-besaran. Perang pertama setelah
terjadinya Perang Dunia II yang dianggap sebagai genosida dan banyak tokoh
kunci perang ini yang dituduh melakukan kejahatan perang (Wikipedia, 2013). Hal
ini karena terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap etnis lain oleh Serbia.
Yugoslavia merupakan salah satu
negara komunis yang makmur pada masanya. Ketenaran Yugoslavia memuncak ketika
Yugoslavia dipimpin Josip Broz Tito yang berkuasa selama 40 tahun. Namun, tahun 1990-an adalah era yang paling
pahit bagi Yugoslavia, dimana pada era itu terjadi pertarungan berdarah dan
berbau agama serta etnis yang mengorbankan banyak nyawa manusia. Hal ini
diakibatkan tidak adanya tokoh kharismatik seperti Tito yang mampu memimpin
Yugoslavia. Pada akhirnya Kroasia, Slovenia, Herzegovina dan Makedonia
memisahkan diri. Yang tersisa sebagai negara Yugoslavia hanya Montenegro dan
Serbia (Susilo, 2009:111). Pemisahan itu mengakibatkan Yugoslavia hanya tinggal
tersisa wilayah Serbia dan Montenegro saja. Dua kawasan itu masih bersatu sejak
2003 hingga 2006 dan pusatnya ada di Beograd. Urusan pertahanan, kebijakan luar
negeri, hubungan ekonomi internasional, dan hak asasi manusia (HAM) ditangani
bersama, sedangkan urusan sehari-hari ditangani secara terpisah (Susilo,
2009:111). Hal ini layaknya negara-negara federasi yang memiliki kewenangan
mengurusi negara bagiannya sendiri dalam bidang-bidang tertentu.
Terbentuknya negara Yugoslavia pada
awalnya lebih disebabkan oleh banyaknya persoalan yang tidak bisa diselesaikan.
Misalnya, masalah multinasional, struktural dan upaya demokratisasi Kerajaan
Serbia-Kroasia. Untuk mengatasi itu, Raja Alexander menyetujui terbentuknya
negara Yugoslavia tersebut (Susilo, 2009:111). Hal ini dimaksudkan untuk
meredam persoalan-persoalan yang terjadi.
Pembagian entitas politik
Bosnia-Herzegovina terpecah-belah pada 1991 setelah runtuhnya rezim-rezim
komunis di Eropa Timur. Mengikuti contoh Kroasia dan Slovenia yang telah
merdeka sebelumnya, pada Maret 1992 Bosnia-Herzegovina menyatakan
kemerdekaannya melalui referendum yang diikuti oleh masyarakat muslim dan
Kroasia-Bosnia. Hal tersebut ditentang oleh penduduk Serbia yang ingin
menguasai seluruh wilayah eks Yugoslavia (Susilo, 2009:111). Karena keinginan
dari pihak Serbia inilah yang mengakibatkan konflik-konflik yang terjadi
semakin memuncak dan akhirnya muncul pembersihan etnis muslim dan Kroasia-Bosnia.
Di bawah pimpinan Radovan Karadzic,
orang-orang Serbia di Bosnia memproklamasikan Republik Srpska. Dengan bantuan
pasukan federal Jenderal Ratko Maldic, orang-orang Serbia-Bosnia menguasai 70
persen wilayah negeri itu. Dalam konflik ini, etnis Serbia, yag menjadi
masyarakat mayoritas, berusaha melenyapkan etnis Muslim dan Kroasia. Terjadilah
pembantaian terbesar dalam sejarah yang jumlah korbannya tidak kalah banyak
dengan Perang Dunia (Susilo, 2009:111).
Pembunuhan, penyiksaan, dan
pemerkosaan oleh kaum Serbia kemudian menyebabkan pemimpin-pemimpin Serbia
dituduh sebagai penjahat perang oleh PBB. Akhirnya, setelah perang berdarah
yang berlarut-larut, perdamaian di antara ketiga kelompok tersebut berhasil
dipaksakan oleh NATO. Sesuai dengan Kesepakatan Dayton 1995, keutuhan wilayah
Bosnia-Herzegovina ditegakkan, namun negara tersebut dibagi dalam dua bagian
yakni 51 persen wilayah gabungan Muslim-Kroasia (Federasi Bosnia dan
Herzegovina) dan 49 persen Serbia (Republik Srpska) (Susilo, 2009:112).
Kemelut
Konflik Di Negara Bosnia-Herzegovina
Konflik di Bosnia bermula dari
kemelut politik di bekas negara Yugoslavia pada tahun akhir 1980-an dan awal
1990-an yang berujung pada pecahnya beberapa negara anggota federasi
Yugoslavia, mengikuti pecahnya Uni Soviet. Kroasia, Slovenia, Makedonia, dan
Bosnia-Herzegovina memerdekakan diri pada 1991-1992, dilanjutkan dengan
berpisahnya Montenegro pada 2006 dan Kosovo pada 2008. Akan tetapi, deklarasi
kemerdekaan Bosnia tidak berjalan mulus, meskipun dunia internasional (PBB dan
USA) mengakui kemerdekaan Bosnia-Herzegovina, namun di dalam negeri kemelut
baru telah lahir (Susilo, 2009:112). Kemelut permasalahan di dalam negeri itu
bersumber pada permasalahan etnis yang ada.
Etnis Bosnia dan Kroasia bersepakat
atas kemerdekaan Bosnia, namun tidak bagi etnis Serbia. Etnis Serbia di Bosnia
melalui politisinya memboikot referendum kemerdekaan bahkan meluncurkan
serangan militer ke Sarajevo ibu kota Bosnia-Herzegovina pada tahun 1992.
Pemimpin Serbia di Bosnia kemudian mendirikan Republik Srpska dan membangun
tentaranya dengan dukungan penuh dari federasi Yugoslavia (Serbia) (Susilo,
2009:113). Federasi Yugoslavia yang ada saat itu adalah gabungan dari
negara-negara yang masih tersisa yakni Serbia dan Montenegro. Federasi
Yugoslavia tersebut mendukung etnis Serbia di Bosnia.
Puncak kekejaman Serbia di Bosnia
adalah apa yang disebut sebagai pembantaian di Srebrenica pada Juli 1959
(Srebrenica Massacre). Tentara Bosnia yang memang sejak awal amat lemah
dibanding kekuatan militer Yugoslavia-Serbia, didukung oleh pasifnya dukungan
pasukan PBB di Srebrenica, memudahkan tentara Serbia di Bosnia (tentara
Republik Srpska) merangsek masuk ke Srebrenica di bawah pimpinan Jenderal Ratko
Mladic. Turut bergabung dalam serangan tersebut para militer (milisi) Serbia
yang menggunakan nama Scorpions. Dalam serangan selama kurang lebih sepekan,
sekitar 8.700 jiwa tewas, baik tentara maupun masyarakat
sipil (bayi, anak-anak, kaum perempuan, dan laki-laki dewasa yang tidak ikut
berperang).
Tidak hanya pembantaian, dalam
pembersihan etnis ini juga terjadi pemerkosaan dan penganiyaan yang luar biasa
kejam. Serangan balasan dari NATO pada tentara Republik Srpska pada Agustus
1995, dilanjutkan dengan Perjanjian Dayton pada Desember 1995 dan akhirnya
menghentikan konflik Bosnia. Hingga perjanjian ditandatangani oleh presiden
dari tiga negara (Bosnia dan Herzegovina, Kroasia, dan Serbia) jumlah total
korban tewas sekitar 110.000 jiwa dan 1.8 juta jiwa terpaksa menjadi pengungsi
(Susilo,2009:114). Hal inilah yang memunculkan keprihatinan dari berbagai
kalangan yang berperikemanusiaan dan menginginkan kedamaian.
Kondisi
Negara-Negara Eks Yugoslavia Pasca Konflik
Saat ini negara-negara tersebut
mulai menghirup perdamaian dan ketiga belah pihak berusaha membangun saling
percaya. Akan tetapi, memang perlu waktu lama untuk menghapuskan permusuhan
berabad-abad itu. Salah satu hal yang diusahakan untuk membangun saling percaya
tersebut adalah mengadili para penjahat perang. Mantan Presiden Republik Srpska
Ravadon Karadzic berhasil ditangkap pada 21 Juli 2008, sementara mantan
Panglima Tentara Federal Jenderal Ratko Mladic belum tertangkap. Dan kini
negara Yugoslavia telah tidak ada karena dunia internasional tidak mengakuinya
sebagai negara merdeka. Akhirnya Serbia mendirikan nama negaranya dengan nama
Serbia yang sampai kini diakui oleh dunia internasional sejak 2003 sebagai
negara merdeka. Sehingga kini Kroasia, Slovenia, Bosnia-Herzegovina dan Serbia
adalah negara merdeka yang berdiri sendiri.
Dampak Dari
Konflik Etnis di Yugoslavia
Konflik etnis yang terjadi di Yugoslavia menimbulkan dampak-dampak yang
tidak kecil. Dampak tersebut berupa korban jiwa, materiil dan psikis bagi
masyarakat Yugoslavia. Dengan adanya konflik etnis tersebut, mereka sempat
merasakan kecemasan dan juga ketakuatan. Dampak-dampak dari konlfik etnis
Yugoslavia tersebut antara lain:
1.
Dalam bidang
politik
Sepeninggal dari Josep Broz Tito,
kehidupan politik dan Negara seakan kehilangan arah. Kemudian, di pimpin secara
kolektif oleh suatu badan Presidensi yang berjumlah delapan orang dan partai
yang juga dipimpin oleh presdium beranggotakan 24 orang. Namun praktek
pengambilan keputusan sering berbenturan satu sama lain, sesuai dengan
kepentingan masing-masing dan memperdalam perpecahan. Perkembangan ini membawa
pada jurang perpecahan Yugoslavia pada 1991-an. Kejadian ini mulai memuncak
ketika Slovenia dan Kroasia memproklamirkan kemerdekaannya pada 25 Juni 1991.
Kedua negara ini membentuk angkatan bersenjata dan menentukan batas negaranya
secara sepihak.
2.
Timbulnya
korban jiwa
Konflik yang
terjadi dibekas negara Yugoslavia membawa korban yang banyak. Terutama pada
saat terjadinya pembersihan etnis muslim dan Kroasia-Bosnia oleh bangsa Serbia.
Dan juga konflik di negara-negara bekas Yugoslavia ini bisa dikataan sebagai
pembunuhan dan pembantaian paling kejam yang pernah dilakukan seytelah perang
dunia kedua. Hal ini karena jumlah korban yang berjatuhan banyak dan
diperkirakan sekitar 110.000 jiwa dan 1,8 juta jiwa menjadi pengungsi (Susilo,2009:114).
3.
Disintegrasi
Yugoslavia
Konflik
etnis ternyata membawa dampak yang cukup berpengaruh terhadap kehidupan
bernegara dan berbangsa dari negara-negara bekas Yugoslavia. Adanya konflik ini
menimbulkan munculnya negara-negara merdeka pecahan dari Yugoslavia, anatara
lain Serbia, Kroasia, Slovenia, Bosnia-Herzegovina.
C. Latar Belakang atau
Penyebab Terjadinya Perang Teluk I (Irak-Iran)
Adapun berbagai penyebab terjadinya perang antara Irak
dan Iran antara lain, adalah:
1.
Sengketa
antara Irak dan Iran sebenarnya masih terkait dengan sejarah kedua belah negara
yang tak pernah akur.
Berlarut-larutnya permusuhan yang
terjadi antara kerajaan Mesopotamia (terletak di lembah sungai Tigris-Eufrat,
yang kini menjadi sebuah negara Irak modern) dengan kerajaan Persia atau negara
Iran modern. Yang pertama ialah persaingan dsn ketegangan
Bangsa Arab dan Bangsa Parsi, yang satu tidak dapat menerima keunggulan atau
dominasi yang lain. yang kedua ialah masalah minoritas etnis.
Pada zaman shah Iran mendukung perjuangan otonomi suku Kurdi di Irak, sedangkan
Irak mendukung minoritas etnis Arab di Iran yang memperjuangkan kebebasan yang
lebih besar atau pemisah, dan yang ketigaialah perbedaan orientasi
politik luar
negeri. Sampai beberapa waktu yang lalu Irak adalah Pro Uni Soviet, dan Iran adalah Pro Barat.
negeri. Sampai beberapa waktu yang lalu Irak adalah Pro Uni Soviet, dan Iran adalah Pro Barat.
2. Persengketaan
wilayah yang dianggap penting oleh Irak dan Iran
Pertama, persengketaan
Sungai Shatt Al Arab, sungai tersebut berperan penting bagi Irak karena
merupakan satu-satunya jalan keluar negara tersebut ke laut.Karena letaknya
yang berada di perbatasan dan posisi strategisnya yang mengarah ke Teluk
Persia, sungai tersebut menjadi bahan sengketa Irak dan Iran. Sebelum perang
antara kedua negara meletus, pada tahun 1975 sempat meredakan ketegangan antara
kedua belah pihak karena berkat perjanjian Algiers. Kedua adalah
Provinsi Khuzestan yang kaya minyak. Wilayah tersebut selama ini menjadi
wilayah Iran, namun sejak tahun 1969 Irak mengklaim bahwa Khuzestan berada di
tanah Irak dan wilayah tersebut diserahkan ke Iran ketika Irak dijajah oleh
Inggris. Dengan begitu maka mereka saling meng-klaim sebagai wilayah mereka
masing-masing.
3. Munculnya
Revolusi Islam oleh Iran
Pada masa pemerintahan Khomeini yang
berambisi dan juga berusaha mengekspor revolusi islamnya kenegara-negara lain
dan Irak menjadi sasaran yang pertama karena di Irak minorotas Sunni menguasai
dan menindas mayoritas Syiah dan minoritas Kurdi yang secara etnik linguistic
dekat dengan bangsa Persi. Selain itu Khoeini menaruh dendam terhadap rezim di
Bagdad yang pada tahun 1978 mengusirnya dari Irak karena dia berkampanye
melawan pemerintah Shah.Sehubungan dengan itu pemerintah Iran menghasut umat
Syiah dan Suku Kurdi di Irak untuk memberontak dan merebut kekuasaan serta membentuk
suatu republic Islam menurut pola Republik Islam Iran. Dilain pihak Bagdad
menghasut minoritas Kurdi di Irak untuk mendukung minoritas Arab dalam
memperjuangkan otonominya, dan membantu sejumlah jendral Iran dan
pengikut-pengikutnya Bakhtiar di pengasingan untuk menyusun kekuatan guna
menumbangkan kekuasaan Khomeini.
Irak di bawah kendali Saddam Hussein
dan Partai Baath memiliki ambisi untuk menjadi kekuatan dominan di
wilayah Arab di bawah bendera pan-Arabisme sejak meninggalnya Presiden Mesir,
Gamal A. Nasser. Revolusi Islam yang terjadi di Iran tersebut dianggap sebagai
penghalang karena bertentangan dengan prinsip nasionalisme sekuler Arab. Selain
untuk mencegah menyebarnya revolusi Islam, Irak juga berusaha mengambil
keuntungan dengan kondisi internal Iran yang tidak stabil pasca revolusi Islam
untuk merebut wilayah-wilayah yang menjadi bahan sengketa dengan Iran dan
menambah sumber minyak Irak.
Dengan kekhawatiran-kekhawatiran
tersebut maka tak heran jika muncul tindakan-tindakan yang membawa ketegangan
dan menimbulkan peperangan pada puncaknya.
4. Percobaan
pembunuhan terhadap pejabat Irak
Pertengahan tahun 1980, terjadi
percobaan pembunuhan kepada Deputi Perdana menteri Irak, Tariq Aziz. Irak
segera bertindak dengan menangkap sejumlah orang yang diduga terlibat atas
percobaan pembunuhan tersebut dan mendeportasi ribuan warga Syiah
berdarah Iran keluar dari Irak. Pemimpin Irak, Saddam Hussein, menyalahkan Iran
sambil menyebut ada agen Iran yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Hal
inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong meletusnya perang Irak-Iran.
5. Penyebab
khusus terjadinya Perang Teluk I antara lain:
a. Adanya
serangan granat pada tanggal 1 April 1980 terhadap wakil Perdana Menteri Irak
Tariq Aziz yang diduga bertanggung jawab atas aksi-aksi survesi terhadap Iran.
b. Adanya
pengusiran ribuan keturunan Iran oleh Saddam, serta melancarkan serangan yang
sengit terhadap pribadi Khomeini dan membatalkan perjanjian Algiers. Sedangkan
Menlu Iran Shodeh Godzadeh berjanji untuk menumbangkan rezim Baath yang
berkuasa di Irak serta memutuskan hubungan diplomatic.
c. Kedua
negara saling menempatkan pasukan masing – masing di daerah perbatasan dalam
jumlah yang cukup besar.
d.
Terjadinya perang pers dan media masa antar kedua belah negara.
e. Pada
17 September 1980, presiden Saddam Hussein secara sepihak membatalkan
Perjanjian Algiers tahun 1975 karena pada waktu itu Saddam Hussein merasa bahwa
Perjanjian Algiers tidak adil untuk Irak, pada saat pembuatan perjanjian itu kedua
belah negara tidak dalam posisi yang seimbang dimana Irak pada waktu itu
sebagai negara yang kalah dengan Iran. kemudian Iran melihatnya sebagai
pernyataan perang pada 20 September 1980.
Menurut para pengamat ada dua faktor yang menyebabkan invansi yang dilakukan Saddam ke Iran, pertama, adanya kekhawatiran dikalangan penguasa negara Arab terhadap kemungkinan menularnya revolusi Khoehenni kenegara-negara Arab. Dan yang kedua, ambisi Saddam Hussein untuk bisa tampil sebagai pemimpin Arab.
Menurut para pengamat ada dua faktor yang menyebabkan invansi yang dilakukan Saddam ke Iran, pertama, adanya kekhawatiran dikalangan penguasa negara Arab terhadap kemungkinan menularnya revolusi Khoehenni kenegara-negara Arab. Dan yang kedua, ambisi Saddam Hussein untuk bisa tampil sebagai pemimpin Arab.
Mudah dimengerti. Terimakasih
BalasHapussama-sama dzikri
BalasHapus