Kamis, 27 Agustus 2015

peristiwa sejarah kontemporer dunia




peristiwa sejarah kontemporer dunia seperti Jerman Bersatu, Perang Teluk,  Konflik Yugoslavia dan terorisme dunia bagi kehidupan sosial dan politik global

Apa yang dimaksud dengan sejarah Jerman bersatu? Jerman bersatu merupakan peristiwa penyatuan antara Jerman Timur dan Jerman Barat. Dahulu negara Jerman yang saat ini kita kenal memang pernah terbagi menjadi dua bagian, hal ini akibat dari pengaruh negara-negara lain seperti Uni Soviet dan Amerika Serikat yang membentuk blok sendiri-sendiri. Untuk lebih jelasnya, simak pembahasannya dibawah ini.
Perpecahan Jerman
Sejak tahun 1945, Jerman mulai dikuasai oleh 4 negara, mereka adalah Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris, dan juga Perancis. Masing-masing negara ini memiliki daerah pemerintahan sendiri di Jerman. Namun pada dasarnya mereka bertujuan sama yaitu mengontrol Jerman secara berdampingan.
Selama beberapa waktu, keempat negara ini memerintah sebagaimana mestinya. Mereka membangun industri, perdagangan, dan banyak hal lain untuk membuat Jerman lebih baik. Akan tetapi akhirnya setiap wilayah yang dikuasai 4 negara tersebut mengalami semacam kesenjangan sosial. Ada wilayah-wilayah tertentu yang mengalami penurunan perekonomian, sementara wilayah lain yang dikuasai negara yang berbeda ternyata mengalami perekonomian baik.
Tak hanya masalah ekonomi. perbedaan politik dan pemerintahan juga terjadi pada masa ini. Hal-hal tersebut akhirnya menimbulkan perselisihan, terutama antar dua negara adidaya yang tak lain adalah Amerika Serikat dan Uni Soviet. Tak ayal lagi, semakin lama kedua negara ini semakin bersitegang dan akhirnya bermusuhan.
Amerika Serikat kemudian merangkul Perancis dan Inggris yang saat itu sama-sama menguasai beberapa wilayah di Jerman. Tahun 1948, ketiga negara besar ini bertemu dalam suatu perundingan yang digelar di London, Inggris. Dalam perundingan ini, tiga negara tersebut sepakat untuk bersatu/bersekutu dan membentuk Jerman Barat yang terpisah dari wilayah kekuasaan Uni Soviet. Dikemudian hari, Amerika Serikat dan sekutunya disebut sebagai blok barat yang menganut paham fasisme.
Uni Soviet tak tinggal diam. Negara komunis ini kemudian membentuk Jerman Timur pada tanggal 7 Oktober 1949. Jerman yang dulunya merupakan satu wilayah utuh pada akhirnya terbagi menjadi dua, yaitu Jerman Barat yang dikuasai blok Amerika Serikat dan Jerman Timur di bawah kekuasaan Uni Soviet.
Pembangunan Tembok Berlin
Puncak dari perselisihan antara Jerman Timur dan Jerman Barat ini adalah pembangunan Tembok Berlin oleh Uni Soviet. Kota Berlin ikut pecah dan terbagi dua seiring terbentuknya Jerman Timur dan Jerman Barat.
Walau Jerman terbagi menjadi dua wilayah kekuasaan, perbedaan kondisi masyarakat di berbagai bidang, termasuk ekonomi dan politik, tetap tak bisa hilang. Hingga saat ini, Jerman Barat kala itu dipercaya sebagai tempat yang lebih baik bila dibandingkan dengan Jerman Timur. Hal ini berdasarkan fakta bahwa setelah Jerman Timur terbentuk, ada banyak warganya yang berusaha melarikan diri ke Jerman Barat.
Melihat banyaknya rakyat Jerman Timur yang berusaha pindah ke wilayah blok barat, Uni Soviet mulai resah dan menganggapnya sebagai pemicu kemunduran perekonomian Jerman Timur. Uni Soviet pun berusaha mencegah warganya yang ingin kabur, dan cara yang dipilih adalah dengan membangun sebuah penghalang agar rakyatnya tak bisa lagi pergi keluar dari Jerman Timur.
Tanggal 13 Agustus 1961 Uni Soviet akhirnya membangun Tembok Berlin. Pembangunan dinding tinggi nan kokoh ini menimbulkan dampak buruk di Jerman, khususnya bagi rakyat Jerman Timur yang seolah-olah merasa terisolasi dari dunia luar. Karena itulah pembangunan Tembok Berlin ini mendapat kecaman dari berbagai pihak, khususnya Amerika Serikat. Kecaman ini berlanjut dengan aksi-aksi protes dan demonstrasi disekitar Tembok Berlin.
Walau Tembok Berlin sudah didirikan, bagaimanapun juga tetap ada sebagian masyarakat Jerman Timur yang berusaha melarikan diri keluar dari negaranya. Ribuan warga Jerman Timur akhirnya berhasil kabur ke Jerman Barat, namun jumlah warga yang gagal melarikan diri juga tak sedikit. Saat itu Uni Soviet sudah memerintahkan para penjaga Tembok Berlin untuk menembak siapapun yang berusaha menerobos Tembok Berlin. Oleh karena itu, kebanyakan dari warga Jerman Timur yang gagal kabur ke wilayah barat biasanya tewas ditembak oleh para penjaga tersebut.
Jerman Bersatu
Setelah sempat terbagi dua, pada akhirnya Jerman Timur dan Jerman Barat kembali bersatu. Hal ini terjadi setelah aksi protes semakin meluas, hampir seluruh negara mengecam tindakan Uni Soviet, dan demonstrasi-demonstrasi hebat di Jerman Timur terus berkobar sehingga membuat Uni Soviet merasa sedikit terdesak.
Pada tanggal 9 November 1989, Tembok Berlin pun resmi diruntuhkan. Akan tetapi saat itu dinding kokoh tersebut belum benar-benar dihancurkan, namun pemerintah Uni Soviet mulai membuka akses dan mengizinkan warganya untuk pergi ke Jerman Barat.
Tanggal 13 Januari 1990, Tembok Berlin benar-benar dihancurkan. Hal ini pun menandai bersatunya Jerman Timur dan Jerman Barat. Penyatuan sebagai negara Jerman inipun resmi dilakukan pada tanggal 3 Oktober 1990.
B. KONFLIK DAN PERMASALAHAN ETNIS KONTEMPORER DI YUGOSLAVIA

Abstrak : Konflik etnis di Yugoslavia pada tahun 1990an sampai 2001 disebabkan tingginya prasangka etnis ditambah runtuhnya komunisme, vaccum of power setelah kematian Josep Broz Tito, dan semangat nasionalisme etnis disetiap bangsa yang ada didalam wilayah Yugoslavia. Konflik Yugoslavia yang terkenal adalah konflik Bosnia. Konflik ini menewaskan korban dalam jumlah besar. Dampak konflik ini adalah banyaknya korban jiwa, krisis ekonomi, dan disintegrasi Yugoslavia.

Kata Kunci : Konflik, Etnis, Kontemporer, Yugoslavia.

Akar konflik etnis yang berkepanjangan di Yugoslavia telah muncul pada tahun 1918 saat bubarnya kerajaan Austria-Hongaria dan bersatunya Serbia, Kroasia, dan Slovenia, akan tetapi Kroasia ingin negara berbentuk federasi sedangkan Serbia menginginkan sebuah negara kesatuan (Wikipedia, 2013). Hal ini menimbulkan sebuah konflik yang nantinya meluas menjadi konflik antar etnis yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban. Selain itu juga memunculkan negara-negara baru merdeka seperti Kroasia.

PEMBAHASAN
Awal Perpecahan Negara Yugoslavia
Perpecahan (atau lebih tepat dipecahkan) kembali terjadi pada tanggal 17 April 1941 (Perang Dunia II) tentara pemberontak Yugoslavia menyerah dan berhasil ditaklukan oleh tentara NAZI Jerman. Hitler membagi Yugoslavia kepada sekutu porosnya yaitu Italia, Hongaria, Bulgaria dan penguasa boneka setempat. Yugoslavia saat itu terdiri dari Serbia (dibawah pemerintahan Jerman), Makedonia (diduduki Bulgaria), Montenegro (diduduki Italia), Negara Kroasia Merdeka, Slovenia (diduduki Jerman, Italia, dan Hongaria), Baranja (diduduki Hongaria), Dalmatia (diduduki Italia), dan Kosovo (diduduki Italia dan Albania) (Oktorino, 2014:5—7).
Berakhirnya Perang Dunia II memunculkan negara federal sosialis di bawah kepemimpinan Tito, setelah prestasinya dalam perang dunia kedua dia berhasil membubarkan monarki dan mengangkat dirinya sebagai diktator Yugoslavia. Dia menindas sentimen kesukuan dan keagamaan yang sifatnya memecah belah, dia memerintah dan mempersatukan negerinya dengan tangan besi (Oktorino, 2014:27). Pada masa kepemimpinannya inilah Yugoslavia bisa dikatakan berada pada masa puncaknya.
Pada tanggal 4 Mei 1980 Tito Sang diktator meninggal sebagaimana yang dituliskan Meier (2005:1) dalam bukunya“On 4 May 1980, Josip Broz Tito, President of the Socialist Federated Republic of Yugoslavia, died”. Kematian Tito membawa banyak dampak bagi Yugoslavia diantaranya  vacum of power (Kekosongan kekuasaan), hal ini membuktikan bahwa stabilitas negara tergantung kepada sosok kharismatik dari seorang Tito sehingga setelah kematiannya, konflik etnis yang telah berhasil ditekan selama pemerintahannya kembali bergolak di Yugoslavia (Haryono, 2007:2).  Konflik etnis itu menimbulkan banyak korban dan kerugian-kerugian baik materiil maupun psikologis.
Pada dasarnya akar konflik berkepanjangan di daerah Yugoslavia menurut Wardhani (2011:222) disebabkan tingginya prasangka etnis, sebagai contoh konflik Bosnia disebabkan oleh keberhasilan Slobodan Milosevic memancing prasangka negatif antara kaum Bosnia dengan Kroasia dan memobilisasi tentara yang menghasilkan pembasmian etnis yang tujuan akhirnya adalah menciptakan Serbia Raya.
Tingginya prasangka etnis ditambah runtuhnya komunisme, vaccum of power, semangat nasionalisme disetiap bangsa yang ada didalam wilayah Yugoslavia dan kepentingan asing menjadi latar belakang yang sempurna bagi tragedi kemanusiaan berupa berbagai konflik etnis dikawasan ini.
Munculnya Akar Konflik Etnis Yugoslavia
Awal mula konflik etnis berkepanjangan yang terjadi di Yugoslavia dimulai pada tahun 1918 ketika bubarnya kerajaan Austria-Hongaria dan bersatunya kerajaan dari Serbia, Kroasia, dan Slovenia setelah Perang Dunia I. Pada tahun 1929 kerajaan dari Serbia, Kroasia, dan Slovenia tersebut berubah nama menjadi Yugoslavia. Yugoslavia sendiri memiliki arti, yaitu ‘orang-orang Slavia Selatan. Yugoslavia menjadi sebuah negara kerajaan yang dipimpin oleh Raja Alexander I (Susilo, 2009:110). Setelah kerajaan-kerajaan tersebut bergabung dan membentuk negara kerajaan Yugoslavia, nama Yugoslavia semakin memiliki eksistensi di dunia Internasional.
Namun, setelah bergabungnya Serbia, Kroasia, dan Slovenia bersatu timbul permasalahan yang dimulai dengan Serbia yang menginginkan sebuah negara kesatuan, sedangkan Kroasia yang menginginkan negara yang berbentuk federasi. Pada tahun 1928, Kroasia mencoba melepaskan diri dari Yugoslavia setelah seorang anggota parlemen dari Kroasia dibunuh. Raja Alexander, sejak tahun 1921, bereaksi keras dengan membubarkan parlemen dan mencanangkan diktatorialisme (Wikipedia, 2015). Perbedaan keinginan dari dalam negara itu, memicu akar konflik dan perepecahan yang nantinya menimbulkan konflik yang berlatarbelakang etnis.
Konflik etnis yang terjadi di Yugoslavia merupakan konflik dan kekerasan yang terjadi selama 1990-2001, namun bibit konflik etnis ini sudah muncul pada Perang Dunia I tahun 1918. Konflik etnis ini melibatkan warga Yugoslavia yang kebanyakan antara bangsa Serbia melawan Kroasia, Bosnia dan Albania. Sering disebut perang paling mematikan di Eropa setelah terjadinya Perang Dunia. Perang ini dicirikan sebagai kejahatan perang dan pembersihan etnis secara besar-besaran. Perang pertama setelah terjadinya Perang Dunia II yang dianggap sebagai genosida dan banyak tokoh kunci perang ini yang dituduh melakukan kejahatan perang (Wikipedia, 2013). Hal ini karena terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap etnis lain oleh Serbia.
Yugoslavia merupakan salah satu negara komunis yang makmur pada masanya. Ketenaran Yugoslavia memuncak ketika Yugoslavia dipimpin Josip Broz Tito yang berkuasa selama 40 tahun.  Namun, tahun 1990-an adalah era yang paling pahit bagi Yugoslavia, dimana pada era itu terjadi pertarungan berdarah dan berbau agama serta etnis yang mengorbankan banyak nyawa manusia. Hal ini diakibatkan tidak adanya tokoh kharismatik seperti Tito yang mampu memimpin Yugoslavia. Pada akhirnya Kroasia, Slovenia, Herzegovina dan Makedonia memisahkan diri. Yang tersisa sebagai negara Yugoslavia hanya Montenegro dan Serbia (Susilo, 2009:111). Pemisahan itu mengakibatkan Yugoslavia hanya tinggal tersisa wilayah Serbia dan Montenegro saja. Dua kawasan itu masih bersatu sejak 2003 hingga 2006 dan pusatnya ada di Beograd. Urusan pertahanan, kebijakan luar negeri, hubungan ekonomi internasional, dan hak asasi manusia (HAM) ditangani bersama, sedangkan urusan sehari-hari ditangani secara terpisah (Susilo, 2009:111). Hal ini layaknya negara-negara federasi yang memiliki kewenangan mengurusi negara bagiannya sendiri dalam bidang-bidang tertentu.
Terbentuknya negara Yugoslavia pada awalnya lebih disebabkan oleh banyaknya persoalan yang tidak bisa diselesaikan. Misalnya, masalah multinasional, struktural dan upaya demokratisasi Kerajaan Serbia-Kroasia. Untuk mengatasi itu, Raja Alexander menyetujui terbentuknya negara Yugoslavia tersebut (Susilo, 2009:111). Hal ini dimaksudkan untuk meredam persoalan-persoalan yang terjadi.
Pembagian entitas politik Bosnia-Herzegovina terpecah-belah pada 1991 setelah runtuhnya rezim-rezim komunis di Eropa Timur. Mengikuti contoh Kroasia dan Slovenia yang telah merdeka sebelumnya, pada Maret 1992 Bosnia-Herzegovina menyatakan kemerdekaannya melalui referendum yang diikuti oleh masyarakat muslim dan Kroasia-Bosnia. Hal tersebut ditentang oleh penduduk Serbia yang ingin menguasai seluruh wilayah eks Yugoslavia (Susilo, 2009:111). Karena keinginan dari pihak Serbia inilah yang mengakibatkan konflik-konflik yang terjadi semakin memuncak dan akhirnya muncul pembersihan etnis muslim dan Kroasia-Bosnia.
Di bawah pimpinan Radovan Karadzic, orang-orang Serbia di Bosnia memproklamasikan Republik Srpska. Dengan bantuan pasukan federal Jenderal Ratko Maldic, orang-orang Serbia-Bosnia menguasai 70 persen wilayah negeri itu. Dalam konflik ini, etnis Serbia, yag menjadi masyarakat mayoritas, berusaha melenyapkan etnis Muslim dan Kroasia. Terjadilah pembantaian terbesar dalam sejarah yang jumlah korbannya tidak kalah banyak dengan Perang Dunia (Susilo, 2009:111).
Pembunuhan, penyiksaan, dan pemerkosaan oleh kaum Serbia kemudian menyebabkan pemimpin-pemimpin Serbia dituduh sebagai penjahat perang oleh PBB. Akhirnya, setelah perang berdarah yang berlarut-larut, perdamaian di antara ketiga kelompok tersebut berhasil dipaksakan oleh NATO. Sesuai dengan Kesepakatan Dayton 1995, keutuhan wilayah Bosnia-Herzegovina ditegakkan, namun negara tersebut dibagi dalam dua bagian yakni 51 persen wilayah gabungan Muslim-Kroasia (Federasi Bosnia dan Herzegovina) dan 49 persen Serbia (Republik Srpska) (Susilo, 2009:112).
Kemelut Konflik Di Negara Bosnia-Herzegovina
Konflik di Bosnia bermula dari kemelut politik di bekas negara Yugoslavia pada tahun akhir 1980-an dan awal 1990-an yang berujung pada pecahnya beberapa negara anggota federasi Yugoslavia, mengikuti pecahnya Uni Soviet. Kroasia, Slovenia, Makedonia, dan Bosnia-Herzegovina memerdekakan diri pada 1991-1992, dilanjutkan dengan berpisahnya Montenegro pada 2006 dan Kosovo pada 2008. Akan tetapi, deklarasi kemerdekaan Bosnia tidak berjalan mulus, meskipun dunia internasional (PBB dan USA) mengakui kemerdekaan Bosnia-Herzegovina, namun di dalam negeri kemelut baru telah lahir (Susilo, 2009:112). Kemelut permasalahan di dalam negeri itu bersumber pada permasalahan etnis yang ada.
Etnis Bosnia dan Kroasia bersepakat atas kemerdekaan Bosnia, namun tidak bagi etnis Serbia. Etnis Serbia di Bosnia melalui politisinya memboikot referendum kemerdekaan bahkan meluncurkan serangan militer ke Sarajevo ibu kota Bosnia-Herzegovina pada tahun 1992. Pemimpin Serbia di Bosnia kemudian mendirikan Republik Srpska dan membangun tentaranya dengan dukungan penuh dari federasi Yugoslavia (Serbia) (Susilo, 2009:113). Federasi Yugoslavia yang ada saat itu adalah gabungan dari negara-negara yang masih tersisa yakni Serbia dan Montenegro. Federasi Yugoslavia tersebut mendukung etnis Serbia di Bosnia.
Puncak kekejaman Serbia di Bosnia adalah apa yang disebut sebagai pembantaian di Srebrenica pada Juli 1959 (Srebrenica Massacre). Tentara Bosnia yang memang sejak awal amat lemah dibanding kekuatan militer Yugoslavia-Serbia, didukung oleh pasifnya dukungan pasukan PBB di Srebrenica, memudahkan tentara Serbia di Bosnia (tentara Republik Srpska) merangsek masuk ke Srebrenica di bawah pimpinan Jenderal Ratko Mladic. Turut bergabung dalam serangan tersebut para militer (milisi) Serbia yang menggunakan nama Scorpions. Dalam serangan selama kurang lebih sepekan, sekitar 8.700 jiwa tewas, baik tentara maupun masyarakat sipil (bayi, anak-anak, kaum perempuan, dan laki-laki dewasa yang tidak ikut berperang).
Tidak hanya pembantaian, dalam pembersihan etnis ini juga terjadi pemerkosaan dan penganiyaan yang luar biasa kejam. Serangan balasan dari NATO pada tentara Republik Srpska pada Agustus 1995, dilanjutkan dengan Perjanjian Dayton pada Desember 1995 dan akhirnya menghentikan konflik Bosnia. Hingga perjanjian ditandatangani oleh presiden dari tiga negara (Bosnia dan Herzegovina, Kroasia, dan Serbia) jumlah total korban tewas sekitar 110.000 jiwa dan 1.8 juta jiwa terpaksa menjadi pengungsi (Susilo,2009:114). Hal inilah yang memunculkan keprihatinan dari berbagai kalangan yang berperikemanusiaan dan menginginkan kedamaian.
Kondisi Negara-Negara Eks Yugoslavia Pasca Konflik
Saat ini negara-negara tersebut mulai menghirup perdamaian dan ketiga belah pihak berusaha membangun saling percaya. Akan tetapi, memang perlu waktu lama untuk menghapuskan permusuhan berabad-abad itu. Salah satu hal yang diusahakan untuk membangun saling percaya tersebut adalah mengadili para penjahat perang. Mantan Presiden Republik Srpska Ravadon Karadzic berhasil ditangkap pada 21 Juli 2008, sementara mantan Panglima Tentara Federal Jenderal Ratko Mladic belum tertangkap. Dan kini negara Yugoslavia telah tidak ada karena dunia internasional tidak mengakuinya sebagai negara merdeka. Akhirnya Serbia mendirikan nama negaranya dengan nama Serbia yang sampai kini diakui oleh dunia internasional sejak 2003 sebagai negara merdeka. Sehingga kini Kroasia, Slovenia, Bosnia-Herzegovina dan Serbia adalah negara merdeka yang berdiri sendiri.
Dampak Dari Konflik Etnis di Yugoslavia
Konflik etnis yang terjadi  di Yugoslavia menimbulkan dampak-dampak yang tidak kecil. Dampak tersebut berupa korban jiwa, materiil dan psikis bagi masyarakat Yugoslavia. Dengan adanya konflik etnis tersebut, mereka sempat merasakan kecemasan dan juga ketakuatan. Dampak-dampak dari konlfik etnis Yugoslavia tersebut antara lain:
1.      Dalam bidang politik
Sepeninggal dari Josep Broz Tito, kehidupan politik dan Negara seakan kehilangan arah. Kemudian, di pimpin secara kolektif oleh suatu badan Presidensi yang berjumlah delapan orang dan partai yang juga dipimpin oleh presdium beranggotakan 24 orang. Namun praktek pengambilan keputusan sering berbenturan satu sama lain, sesuai dengan kepentingan masing-masing dan memperdalam perpecahan. Perkembangan ini membawa pada jurang perpecahan Yugoslavia pada 1991-an. Kejadian ini mulai memuncak ketika Slovenia dan Kroasia memproklamirkan kemerdekaannya pada 25 Juni 1991. Kedua negara ini membentuk angkatan bersenjata dan menentukan batas negaranya secara sepihak.
2.      Timbulnya korban jiwa
Konflik yang terjadi dibekas negara Yugoslavia membawa korban yang banyak. Terutama pada saat terjadinya pembersihan etnis muslim dan Kroasia-Bosnia oleh bangsa Serbia. Dan juga konflik di negara-negara bekas Yugoslavia ini bisa dikataan sebagai pembunuhan dan pembantaian paling kejam yang pernah dilakukan seytelah perang dunia kedua. Hal ini karena jumlah korban yang berjatuhan banyak dan diperkirakan sekitar 110.000 jiwa dan 1,8 juta jiwa menjadi pengungsi (Susilo,2009:114).
3.      Disintegrasi Yugoslavia
Konflik etnis ternyata membawa dampak yang cukup berpengaruh terhadap kehidupan bernegara dan berbangsa dari negara-negara bekas Yugoslavia. Adanya konflik ini menimbulkan munculnya negara-negara merdeka pecahan dari Yugoslavia, anatara lain Serbia, Kroasia, Slovenia, Bosnia-Herzegovina.
C. Latar Belakang atau Penyebab Terjadinya Perang Teluk I (Irak-Iran)

Adapun berbagai penyebab terjadinya perang antara Irak dan Iran antara lain, adalah:
1.             Sengketa antara Irak dan Iran sebenarnya masih terkait dengan sejarah kedua belah negara yang tak pernah akur.



Berlarut-larutnya permusuhan yang terjadi antara kerajaan Mesopotamia (terletak di lembah sungai Tigris-Eufrat, yang kini menjadi sebuah negara Irak modern) dengan kerajaan Persia atau negara Iran modern. Yang pertama ialah persaingan dsn ketegangan Bangsa Arab dan Bangsa Parsi, yang satu tidak dapat menerima keunggulan atau dominasi yang lain. yang kedua ialah masalah minoritas etnis. Pada zaman shah Iran mendukung perjuangan otonomi suku Kurdi di Irak, sedangkan Irak mendukung minoritas etnis Arab di Iran yang memperjuangkan kebebasan yang lebih besar atau pemisah, dan yang ketigaialah perbedaan orientasi politik luar
negeri. Sampai beberapa waktu yang lalu Irak adalah Pro Uni Soviet, dan Iran adalah Pro Barat.
2. Persengketaan wilayah yang dianggap penting oleh Irak dan Iran
Pertama, persengketaan Sungai Shatt Al Arab, sungai tersebut berperan penting bagi Irak karena merupakan satu-satunya jalan keluar negara tersebut ke laut.Karena letaknya yang berada di perbatasan dan posisi strategisnya yang mengarah ke Teluk Persia, sungai tersebut menjadi bahan sengketa Irak dan Iran. Sebelum perang antara kedua negara meletus, pada tahun 1975 sempat meredakan ketegangan antara kedua belah pihak karena berkat perjanjian Algiers. Kedua adalah Provinsi Khuzestan yang kaya minyak. Wilayah tersebut selama ini menjadi wilayah Iran, namun sejak tahun 1969 Irak mengklaim bahwa Khuzestan berada di tanah Irak dan wilayah tersebut diserahkan ke Iran ketika Irak dijajah oleh Inggris. Dengan begitu maka mereka saling meng-klaim sebagai wilayah mereka masing-masing.
3. Munculnya Revolusi Islam oleh Iran
Pada masa pemerintahan Khomeini yang berambisi dan juga berusaha mengekspor revolusi islamnya kenegara-negara lain dan Irak menjadi sasaran yang pertama karena di Irak minorotas Sunni menguasai dan menindas mayoritas Syiah dan minoritas Kurdi yang secara etnik linguistic dekat dengan bangsa Persi. Selain itu Khoeini menaruh dendam terhadap rezim di Bagdad yang pada tahun 1978 mengusirnya dari Irak karena dia berkampanye melawan pemerintah Shah.Sehubungan dengan itu pemerintah Iran menghasut umat Syiah dan Suku Kurdi di Irak untuk memberontak dan merebut kekuasaan serta membentuk suatu republic Islam menurut pola Republik Islam Iran. Dilain pihak Bagdad menghasut minoritas Kurdi di Irak untuk mendukung minoritas Arab dalam memperjuangkan otonominya, dan membantu sejumlah jendral Iran dan pengikut-pengikutnya Bakhtiar di pengasingan untuk menyusun kekuatan guna menumbangkan kekuasaan Khomeini.
Irak di bawah kendali Saddam Hussein dan  Partai Baath memiliki ambisi untuk menjadi kekuatan dominan di wilayah Arab di bawah bendera pan-Arabisme sejak meninggalnya Presiden Mesir, Gamal A. Nasser. Revolusi Islam yang terjadi di Iran tersebut dianggap sebagai penghalang karena bertentangan dengan prinsip nasionalisme sekuler Arab. Selain untuk mencegah menyebarnya revolusi Islam, Irak juga berusaha mengambil keuntungan dengan kondisi internal Iran yang tidak stabil pasca revolusi Islam untuk merebut wilayah-wilayah yang menjadi bahan sengketa dengan Iran dan menambah sumber minyak Irak.
Dengan kekhawatiran-kekhawatiran tersebut maka tak heran jika muncul tindakan-tindakan yang membawa ketegangan dan menimbulkan peperangan pada puncaknya.
4. Percobaan pembunuhan terhadap pejabat Irak
Pertengahan tahun 1980, terjadi percobaan pembunuhan kepada Deputi Perdana menteri Irak, Tariq Aziz. Irak segera bertindak dengan menangkap sejumlah orang yang diduga terlibat atas percobaan pembunuhan tersebut dan  mendeportasi ribuan warga Syiah berdarah Iran keluar dari Irak. Pemimpin Irak, Saddam Hussein, menyalahkan Iran sambil menyebut ada agen Iran yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong meletusnya perang Irak-Iran.
5. Penyebab khusus terjadinya Perang Teluk I antara lain:
a.      Adanya serangan granat pada tanggal 1 April 1980 terhadap wakil Perdana Menteri Irak Tariq Aziz yang diduga bertanggung jawab atas aksi-aksi survesi terhadap Iran.
b.    Adanya pengusiran ribuan keturunan Iran oleh Saddam, serta melancarkan serangan yang sengit terhadap pribadi Khomeini dan membatalkan perjanjian Algiers. Sedangkan Menlu Iran Shodeh Godzadeh berjanji untuk menumbangkan rezim Baath yang berkuasa di Irak serta memutuskan hubungan diplomatic.
c.     Kedua negara saling menempatkan pasukan masing – masing di daerah perbatasan dalam jumlah yang cukup besar.
d.        Terjadinya perang pers dan media masa antar kedua belah negara.
e.       Pada 17 September 1980, presiden Saddam Hussein secara sepihak membatalkan Perjanjian Algiers tahun 1975 karena pada waktu itu Saddam Hussein merasa bahwa Perjanjian Algiers tidak adil untuk Irak, pada saat pembuatan perjanjian itu kedua belah negara tidak dalam posisi yang seimbang dimana Irak pada waktu itu sebagai negara yang kalah dengan Iran. kemudian Iran melihatnya sebagai pernyataan perang pada 20 September 1980.
Menurut para pengamat ada dua faktor yang menyebabkan invansi yang dilakukan Saddam ke Iran, pertama, adanya kekhawatiran dikalangan penguasa negara Arab terhadap kemungkinan menularnya revolusi Khoehenni kenegara-negara Arab. Dan yang kedua, ambisi Saddam Hussein untuk bisa tampil sebagai pemimpin Arab.


2 komentar: